Pertimbangan Teknologi dan Keuangan untuk Fregat Masa Depan Indonesia

3 weeks ago 15
Fregat kelas Amiral Ronarc'h Naval Group. (Dok. naval-group.com)

Walaupun program pembangunan kekuatan pertahanan jangka panjang 2010-2024akan segera berakhir pada 31 Desember 2024, akan tetapi masih terdapat puluhan program akuisisi yang dibiayai oleh Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang belum memiliki kontrak atau belum mempunyai loan agreement.

Bahkan aktivasi kontrak yang telah memiliki loan agreement pun tergantung ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping pada anggaran Kementerian Pertahanan. Di sisi lain, merupakan suatu fakta bahwa kondisi fiskal pemerintah saat ini sedang dalam tekanan berat akibat kondisi ekonomi global yang penuh tantangan dan deindustrilisasi dini Indonesia yang masih terus berlanjut.

Di antara tantangan ekonomi global pada tahun depan ialah perang dagang oleh Amerika Serikat terhadap negara-negara lain setelah Donald Trump kembali ke Gedung Putih, baik pesaing maupun sekutu Amerika Serikat.

Terkait dengan APBN 2025, pada 5 Desember 2024 Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025. Dalam beleid tersebut, Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi anggaran belanja modal senilai Rp 62,9 triliun di mana Rp 44,6 triliun murni untuk Kementerian Pertahanan, sedangkan sisanya bagi TNI.

Nilai belanja modal itu jauh lebih besar daripada alokasi belanja pegawai maupun belanja barang atau dengan kata lain kini belanja modal mendapatkan prioritas dibandingkan dua belanja lainnya. Masih menjadi pertanyaan apakah angka Rp 62,9 triliun cukup untuk membiayai pembayaran uang muka kontrak pengadaan sistem senjata mengingat anggaran belanja modal diperuntukkan pula pembayaran utang luar negeri Kementerian Pertahanan.

Selama ini pembayaran uang muka kontrak akuisisi sistem senjata atau dikenal pula sebagai dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) dapat menggunakan dua opsi, yaitu RMP yang dialokasi untuk Unit Organisasi (UO) Kementerian Pertahanan atau UO matra TNI yang akan menjadi pengguna akhir sistem senjata yang dibeli.

Dalam sejumlah kasus pengadaan, pembayaran uang muka memakai alokasi RMP pada matra TNI yang secara otomatis mengurangi besaran belanja modal pada unit yang bersangkutan.

Sebagai ilustrasi, pada tahun depan Kementerian Pertahanan memerlukan dana RMP sebesar Rp 2,8 triliun untuk pembayaran uang muka Pattugliatore Polivalente d’Altura (PPA)/Multipurpose Offshore Patrol Vessel buatan Italia dalam dua termin pembayaran. Kementerian Pertahanan memerlukan dana RMP yang besar pula jika hendak melakukan aktivasi kontrak kapal selam kelas Scorpene pada 2025.

Pengadaan PPA merupakan kegiatan akuisisi yang berjalan cukup cepat karena mengambil kapal yang diperuntukkan bagi Angkatan Laut Italia. Tentu saja masih terdapat pekerjaan rumah bagi Kementerian Pertahanan dan TNI Angkatan Laut untuk melengkapi PPA dengan sejumlah rudal yang sesuai dengan spesifikasi kapal perang itu.

Apakah kegiatan akuisisi rudal-rudal untuk kapal itu akan tercantum dalam Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 masih harus menunggu Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menerbitkan dokumen yang dimaksud. Karena isu ketersediaan rudal, masih butuh beberapa tahun lagi bagi PPA untuk mencapai status siap tempur di Indonesia.

Hal lain yang dinantikan pula dalam DRPLN-JM 2025-2029 ialah program pembelian fregat yang kini telah diincar oleh beberapa galangan kapal luar negeri. Salah satu hal yang menarik perhatian adalah fregat dengan kemampuan seperti apa yang akan didatangkan oleh Indonesia di tengah potensi konflik kawasan di Laut China Selatan apabila pihak-pihak yang berkepentingan tidak dapat menahan diri.

Sikap politik Indonesia yang tidak mendeklarasikan diri sebagai negara pengeklaim bukan berarti Indonesia tidak akan terlibat dalam konflik di sana bila situasi mengalami peningkatan eskalasi secara cepat. Terkait dengan rencana belanja fregat pada pembangunan kekuatan pertahanan 2025-2029, beberapa hal berikut hendaknya menjadi pertimbangan.

Pertama, kemampuan fregat yang lebih baik daripada fregat yang dipunyai oleh TNI Angkatan Laut saat ini, seperti fregat yang bukan saja mampu membela diri sendiri terhadap serangan lawan, tetapi mampu pula menjadi payung pertahanan kapal-kapal lain dalam suatu gugus tugas.

Dengan kata lain, Indonesia membutuhkan fregat dengan kemampuan pertahanan udara yang dapat diandalkan, seperti mengadopsi rudal Aster 30 daripada VL MICA. Kemampuan menghadapi ancaman asimetris seperti Unmanned Aerial Vehicle (UAV), Unmanned Surface Vehicle (USV) dan Unmanned Underwater Vehicle (UUV) hendaknya dimiliki oleh fregat yang akan dipilih oleh Indonesia.

Perang di Ukraina menunjukkan bahwa Ukraina mampu menenggelamkan kapal patroli Rusia dengan menggunakan USV yang dikendalikan dari jarak jauh, sehingga ancaman asimetris tidak dapat dipandang remeh.

Kedua, adopsi kecerdasan buatan kini telah menjadi perkembangan terbaru pada sedikit fregat buatan terbaru. Walaupun penggunaan kecerdasan buatan secara luas pada sektor pertahanan masih terbatas karena teknologi yang belum matang, selain alasan moral dan etika, salah satu kecerdasan buatan yang sudah dipakai pada fregat adalah predictive maintenance yang merupakan sistem mampu memprediksi kapan suatu komponen atau subsistem di kapal akan mengalami kerusakan.

Mengacu pada studi di Angkatan Udara Amerika Serikat, pemakaian predictive maintenance mampu menghemat biaya pemeliharaan tidak terjadwal sebesar 30 persen.

Ketiga, pembiayaan program yang murah dan risiko rendah di tengah tekanan fiskal yang akan terus dihadapi oleh Indonesia pada tahun-tahun mendatang. Saat ini terdapat sejumlah opsi pengadaan fregat dari Eropa dengan pembiayaan yang murah dan resiko rendah di mata lender dan insurer, satu di antaranya adalah Naval Group yang menawarkan fregat kelas Amiral Ronarc’h.

Dalam hal pengadaan sistem senjata yang menggunakan PLN, sebaiknya pemerintah mengikuti aturan main di pasar utang yang sangat memperhitungkan risiko dan tidak memaksakan kehendak dengan gagasan yang kontraproduktif terhadap ekonomi nasional seperti pemakaian cadangan devisa Bank Indonesia untuk membeli beragam peralatan pertahanan dari Turki.

Keempat, pembangunan fasilitas pemeliharaan di Indonesia yang melibatkan pemerintah, BUMN dan swasta. Selama ini walaupun pemeliharaan fregat dilaksanakan di dalam negeri, akan tetapi komponen atau subsistem yang canggih masih harus dikirim ke negara produsen untuk diperbaiki.

Sudah saatnya Indonesia mempunyai workshop sendiri untuk semua komponen atau subsistem yang diadopsi pada fregat yang dibeli nanti. Guna mewujudkan hal tersebut, pemerintah hendaknya mendorong kepada pabrikan-pabrikan subsistem seperti beragam peralatan elektronika untuk membangun workshop di Indonesia melalui kerja sama dengan BUMN atau pihak swasta.

Selain memperpendek rantai pemeliharaan, workshop tersebut akan memberikan pula keuntungan ekonomis kepada Indonesia karena kegiatan pemeliharaan memiliki siklus yang terus berulang.

Read Entire Article
Asia Sport| Info Olahraga | Daily News | |